Saturday 25 November 2017

Trading Forex Mui


Hukum Trading Forex Menurut MUI Halal atau Haram Hukum Trading Forex Menurut MUI Halal atau Haram Mengingat Banyaknya Yang mempertanyakan apa hukum Handel forex menurutIslam (meski sudah banyak dikupas) maka berikut ini saya veröffentlichen artikel dari Gainscope tentang FATWA MUI TENTANG TRADING FOREX. Di luar sana berkembang juga pendapat yang bersebarangan dengan fatwa MUI ini di mana mereka tetap berpendirian pada bahwa Handel forex adalah HARAM dengan hujjahargumen yang mereka pegangi. Keputusan berpulang pada dan ada di Tangan Anda Selamat-Membran. Fatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang (AL-SHARF) Pertanyaan Yang Pasti Ditanyakan Oleh Setiap Trader di Indonesien: 1. Apakah Trading Forex Haram 2. Apakah Trading Forex Halal 3. Apakah Trading Forex Diperbolehkan Dalam Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari Kita Bahas dengan artikel yang pertama: Forex Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai Volumen permintaan dan penawarannya. Adanya Permintaan Dan Penawaran Inilah Yang Menimbulkan Transaksi Mata Uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. --- gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterimakan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri Atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. Jangan Kamu Membeli ikan Dalam Luft, Karena Sesungguhnya Jual Beli Yang Demikian Itu Mengandung Penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi Dari Ibnu Masud) Jual Beli Barang Yang Tidak Di Tempel Transaksi Diperbolehkan Dengan Syarat Harus Diterangkan Sifatsifatnya Atau Ciri-Cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: 8220Kesulitan itu menarik kemudahan.8221 Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi etikett yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, Video Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan krankheit devisa. Misalnya eksportir Indonesien akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesien memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul penawaran dan perminataan di bursa valuta asing. Setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000 Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. (AWJ Tupanno, et al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesien Nr .: 28DSN-MUIIII2002 Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Schal) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis. B. Bahwa dalam urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain. C. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah2: 275:. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR. Albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Dan Ibn Majah, Dengan Teks Muslim Dari Ubadah Bin Shamit, Nabi sah Bersabda: (Juallah) Emas Dengan Emas, Perak Dengan Perak, Gandum Dengan Gandum, Syair Dengan Syair, Kurma Dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai .. 4. Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, Dan Ahmad, Dari Umar bin Khattab, Nabi sah Bersabda: (Jual-Beli) emas dengan perak adalah Riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat Muslim Dari Abu Said al-Khudri, Nabi sah bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian Atas sebagian yang lain dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat Muslim Dari Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam. Rasulullah sah melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Einheit Usaha Syariah Bank BNI Nr. UUS2878 2. Pendapat Peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional Pada Hari Kamis, Tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (über den Ladentisch) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi VORWÄRTS, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk vorwärts vereinbarung untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil Hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga vorwärts. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah Einheit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Ketiga Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Jakarta Tanggal 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIEN Tulisan lain yang menguatkan adalah sebagaimana ditulis oleh Dr. Mohammed Obaidullah di bawah ini tentang ISLAMIC FOREX TRADING. 1. Die grundlegenden Austauschkontrakte Es besteht ein allgemeiner Konsens zwischen islamischen Juristen, dass Währungen verschiedener Länder an einer Stelle mit einer anderen Rate als der Einheit ausgetauscht werden können, da Währungen verschiedener Länder unterschiedliche Einheiten mit unterschiedlichen Werten oder intrinsischen Wert sind , Und Kaufkraft. Es scheint auch eine allgemeine Vereinbarung unter einer Mehrheit der Gelehrten zu sehen, dass eine Devisenbörse auf einer Forward-Basis nicht zulässig ist, dh wenn sich die Rechte und Pflichten beider Parteien auf ein zukünftiges Datum beziehen. Allerdings gibt es bei den Juristen eine beträchtliche Meinungsverschiedenheit, wenn die Rechte einer der Parteien, die der Verpflichtung der Gegenpartei entspricht, auf ein zukünftiges Datum verschoben wird. Um zu erarbeiten, betrachten wir das Beispiel von zwei Individuen A und B, die zu zwei verschiedenen Ländern, Indien und den USA gehören. A beabsichtigt, indische Rupien zu verkaufen und U. S-Dollar zu kaufen. Das Gegenteil ist für B wahr. Der Rup-Dollar-Wechselkurs, der vereinbart wurde, ist 1:20 und die Transaktion beinhaltet den Kauf und Verkauf von 50. Die erste Situation ist, dass A eine Spotzahlung von Rs1000 nach B macht und die Zahlung von 50 von B akzeptiert Die Transaktion wird von beiden Seiten an Ort und Stelle abgewickelt. Solche Transaktionen sind gültig und islamisch zulässig. Es gibt keine zwei Meinungen über das gleiche. Die zweite Möglichkeit ist, dass die Abwicklung der Transaktion von beiden Enden auf ein zukünftiges Datum verschoben wird, sagen wir nach sechs Monaten ab sofort. Dies bedeutet, dass sowohl A als auch B nach sechs Monaten die Zahlung von Rs1000 oder 50 annehmen und akzeptieren würden. Die vorherrschende Ansicht ist, dass ein solcher Vertrag nicht islamisch zulässig ist. Eine Minderheit betrachtet es für zulässig. Das dritte Szenario ist, dass die Transaktion teilweise nur von einem Ende abgewickelt wird. Zum Beispiel macht A eine Zahlung von Rs1000 jetzt an B anstelle eines Versprechens von B, um ihm nach sechs Monaten 50 zu zahlen. Alternativ akzeptiert A jetzt 50 von B und verspricht, Rs1000 zu ihm nach sechs Monaten zu zahlen. Es gibt diametral gegenüberliegende Ansichten über die Zulässigkeit solcher Verträge, die in Währungen bai-salam sind. Der Zweck dieser Arbeit ist es, eine umfassende Analyse der verschiedenen Argumente zur Unterstützung und gegen die Zulässigkeit dieser Grundverträge mit Währungen vorzulegen. Die erste Form der Vertragsvergabe mit dem Austausch von Gegenwerten auf der Stelle ist jenseits aller Kontroversen. Zulässigkeit oder anderweitig der zweite Art des Vertrages, bei dem die Lieferung eines der Gegenwerte auf ein zukünftiges Datum verschoben wird, wird im Rahmen des Riba-Verbots allgemein erörtert. Dementsprechend besprechen wir diesen Vertrag ausführlich in Abschnitt 2, der sich mit der Frage des Verbots von Riba beschäftigt. Die Zulässigkeit der dritten Vertragsform, in der die Lieferung der beiden Gegenwerte abgegrenzt wird, wird im Rahmen der Verringerung von Risiken und Unsicherheiten oder Gharar, die an solchen Verträgen beteiligt sind, allgemein erörtert. Dies ist also das zentrale Thema von Abschnitt 3, der sich mit der Frage von gharar beschäftigt. Abschnitt 4 versucht eine ganzheitliche Sicht auf die Scharia bezieht sich auf Fragen wie auch die ökonomische Bedeutung der Grundformen des Vertrags auf dem Devisenmarkt. 2. Die Frage des Riba-Verbots Die Divergenz der Ansichten1 über die Zulässigkeit oder sonstige Wechselkontrakte in Währungen kann in erster Linie auf die Frage des Riba-Verbots zurückgeführt werden. Die Notwendigkeit, Riba in allen Formen von Devisenverträgen zu beseitigen, ist von größter Bedeutung. Riba in seinem Scharia-Kontext wird allgemein als ein rechtswidriger Gewinn definiert, der aus der quantitativen Ungleichheit der Gegenwerte in einer Transaktion abgeleitet wird, die den Austausch von zwei oder mehr Arten (anwa) bewirkt, die zu derselben Gattung gehören (jins) und regiert werden Die gleiche effiziente Ursache (illa). Riba wird allgemein in Riba al-Fadl (Überschuss) und Riba al-Nasia (Deferment) klassifiziert, die einen unzulässigen Vorteil durch Über - oder Aufschiebung bezeichnen. Das Verbot des ersteren wird durch eine Bestimmung erreicht, dass der Wechselkurs zwischen den Objekten Einheit ist und kein Gewinn für jede Partei zulässig ist. Die letztere Art von Riba ist verboten, indem sie die aufgeschobene Abwicklung nicht zulässt und dafür sorgt, dass die Transaktion von beiden Parteien an Ort und Stelle abgerechnet wird. Eine andere Form von Riba heißt Riba al-jahiliyya oder vor-islamischen Riba, die Oberflächen, wenn der Kreditgeber fragt den Kreditnehmer am Fälligkeitstag, wenn diese würde die Schulden begleichen oder erhöhen die gleiche. Die Zunahme wird begleitet von der Zinszahlung auf den ursprünglich ausgeliehenen Betrag. Das Verbot von Riba im Austausch von Währungen, die zu verschiedenen Ländern gehören, erfordert einen Analogisierungsprozeß (qiyas). Und in einer solchen Übung mit Analogie (qiyas) spielt eine effiziente Ursache (illa) eine äußerst wichtige Rolle. Es ist eine gemeinsame, effiziente Ursache (illa), die den Gegenstand der Analogie mit ihrem Subjekt in der Ausübung des analogen Denkens verbindet. Die angemessene effiziente Ursache (illa) im Falle von Devisentermingeschäften wurde von den Hauptschulen von Fiqh unterschiedlich definiert. Dieser Unterschied spiegelt sich in der analogen Argumentation für Papierwährungen, die zu verschiedenen Ländern gehören. Eine Frage von beträchtlicher Bedeutung im Prozeß der analogen Vernunft bezieht sich auf den Vergleich zwischen Papierwährungen mit Gold und Silber. In den frühen Tagen des Islam, Gold und Silber durchgeführt alle Funktionen des Geldes (Thaman). Währungen wurden aus Gold und Silber mit einem bekannten intrinsischen Wert (Quantum von Gold oder Silber in ihnen enthalten) gemacht. Solche Währungen werden als Thaman haqiqi oder naqdain in Fiqh Literatur beschrieben. Diese waren allgemein als Hauptmittel des Austausches akzeptabel, was einen großen Teil der Transaktionen ausmachte. Viele andere Rohstoffe, wie z. B. verschiedene minderwertige Metalle dienten auch als Austauschmittel, aber mit eingeschränkter Akzeptanz. Diese werden in der Fiqh-Literatur als fals beschrieben. Diese sind auch bekannt als thaman istalahi wegen der Tatsache, dass ihre Akzeptanz nicht aus ihrem intrinsischen Wert, sondern aufgrund der Status, der von der Gesellschaft während einer bestimmten Zeitspanne gegeben wird. Die beiden oben genannten Währungsformen wurden von den frühen islamischen Juristen vom Standpunkt der Zulässigkeit der Verträge, die sie betreffen, sehr unterschiedlich behandelt. Die Frage, die gelöst werden muss, ist, ob die gegenwärtigen Alterspapierwährungen unter die ehemalige Kategorie oder die letzteren fallen. Eine Ansicht ist, dass diese mit thaman haqiqi oder Gold und Silber behandelt werden sollten, da diese als das wichtigste Mittel des Austausches und der Rechnungseinheit wie die letzteren dienen. Daher sollten durch die analoge Begründung auch alle für die thaman haqiqi geltenden Scharia-bezogenen Normen und Unterlassungen auch auf Papierwährung anwendbar sein. Der Austausch von thaman haqiqi ist bekannt als bai-sarf, und daher sollten die Transaktionen in Papierwährungen von den für Bai-Seas relevanten Scharia-Regeln geregelt werden. Die gegenteilige Ansicht behauptet, dass Papierwährungen in ähnlicher Weise wie Fals oder Thaman Istalahi behandelt werden sollten, weil ihr Nennwert sich von ihrem intrinsischen Wert unterscheidet. Ihre Akzeptanz ergibt sich aus ihrer Rechtsstellung im Inland oder der Weltwirtschaft (wie zB bei US-Dollar). 2.1. Eine Synthese alternativer Ansichten 2.1.1. Analoge Begründung (Qiyas) für Riba Prohibition Das Verbot von Riba basiert auf der Tradition, dass der heilige Prophet (Friede sei mit ihm) sagte, Gold für Gold, Silber für Silber, Weizen für Weizen, Gerste für Gerste, Datum für Datum, Salz für Salz, in gleichen Mengen auf der Stelle und wenn die Waren anders sind, verkaufen, wie es Ihnen passt, aber auf der Stelle. So gilt das Verbot von Riba vor allem für die beiden Edelmetalle (Gold und Silber) und vier weitere Waren (Weizen, Gerste, Datteln und Salz). Es gilt auch analog (qiyas) auf alle Arten, die von der gleichen wirksamen Ursache (illa) regiert werden oder die zu einer der Gattungen der sechs in der Tradition zitierten Gegenstände gehören. Allerdings gibt es keine allgemeine Vereinbarung zwischen den verschiedenen Schulen von Fiqh und sogar Gelehrten der gleichen Schule auf die Definition und Identifizierung der effizienten Ursache (illa) von Riba. Für die Hanafis hat die effiziente Ursache (illa) von Riba zwei Dimensionen: die ausgetauschten Artikel gehören zu der gleichen Gattung (Jins) diese besitzen Gewicht (Wazan) oder Messbarkeit (Kiliyya). Wenn in einem gegebenen Austausch sowohl die Elemente der effizienten Ursache (illa) vorhanden sind, dh die ausgetauschten Gegenwerte gehören zu der gleichen Gattung (Jins) und sind alle abwägbar oder alle messbar, dann ist kein Gewinn zulässig (der Wechselkurs muss Gleich der Einheit sein) und der Austausch muss vor Ort sein. Im Falle von Gold und Silber sind die beiden Elemente der effizienten Ursache (illa): Einheit der Gattung (Jins) und die Gewichtbarkeit. Dies ist auch die Hanbali-Ansicht nach einer Version3. (Eine andere Version ähnelt der Ansicht von Shafii und Maliki, wie unten diskutiert wird.) Wenn also Gold für Gold ausgetauscht wird oder Silber gegen Silber ausgetauscht wird, sind nur Spot-Transaktionen ohne Gewinn zulässig. Es ist auch möglich, dass in einem gegebenen Austausch eines der beiden Elemente der effizienten Ursache (illa) vorhanden ist und das andere fehlt. Zum Beispiel, wenn die ausgetauschten Gegenstände alle abwägbar oder messbar sind, aber zu verschiedenen Gattungen gehören (Jins) oder, wenn die ausgetauschten Gegenstände zu derselben Gattung gehören (Jins), aber weder abwägt noch messbar ist, dann mit Gewinn (mit einer anderen Rate als Einheit) ist zulässig, aber die Börse muss vor Ort sein. Wenn also Gold für Silber ausgetauscht wird, kann sich die Rate von der Einheit unterscheiden, aber keine aufgeschobene Abrechnung ist zulässig. Wenn keines der beiden Elemente der effizienten Ursache (illa) von Riba in einer gegebenen Börse vorhanden ist, dann keine der Unterlassungen für Riba-Verbot gelten. Der Austausch kann mit oder ohne Gewinn stattfinden und sowohl auf einer Stelle als auch auf verzögerter Basis. In Anbetracht des Falles des Austausches mit Papierwährungen, die zu verschiedenen Ländern gehören, würde das Riba-Verbot eine Suche nach einer effizienten Ursache (illa) erfordern. Währungen, die zu verschiedenen Ländern gehören, sind klar voneinander getrennte Einheiten, die gesetzliche Ausschreibung innerhalb bestimmter geografischer Grenzen mit unterschiedlichem intrinsischen Wert oder Kaufkraft sind. Daher ist eine große Mehrheit der Gelehrten vielleicht zu Recht behaupten, dass es keine Einheit der Gattung (Jins) gibt. Darüber hinaus sind diese weder abwägung noch messbar. Dies führt zu einer direkten Schlussfolgerung, dass keines der beiden Elemente der effizienten Ursache (illa) von Rippen in einem solchen Austausch existiert. Daher kann der Austausch frei von jeglicher Verfügung über den Wechselkurs und die Art der Abwicklung erfolgen. Die Logik, die dieser Position zugrunde liegt, ist nicht schwer zu verstehen. Der intrinsische Wert der Papierwährungen, die zu verschiedenen Ländern gehören, unterscheiden sich, da diese unterschiedliche Kaufkraft haben. Darüber hinaus kann der intrinsische Wert oder Wert der Papierwährungen nicht identifiziert oder beurteilt werden, im Gegensatz zu Gold und Silber, die gewogen werden können. Daher kann weder die Anwesenheit von Riba al-Fadl (durch Überschuss) noch Riba al-Nasia (durch Deferment) festgestellt werden. Die Shafii-Schule von Fiqh betrachtet die effiziente Ursache (illa) im Falle von Gold und Silber, um ihr Eigentum zu sein, Währung (thamaniyya) oder das Medium des Umtauschs, der Rechnungseinheit und des Wertes zu sein. Dies ist auch die Maliki-Ansicht. Nach einer Version dieser Ansicht, auch wenn Papier oder Leder das Medium des Austausches gemacht wird und der Status der Währung gegeben wird, dann gelten alle Regeln für Naqdain oder Gold und Silber für sie. So ist nach dieser Fassung der Austausch, der Währungen verschiedener Länder mit einer anderen Rate als der Einheit einschließt, zulässig, muss aber pünktlich abgewickelt werden. Eine andere Version der oben genannten zwei Denkschulen ist, dass die oben zitierte effiziente Ursache (illa) der Währung (thamaniyya) ist spezifisch für Gold und Silber, und kann nicht verallgemeinert werden. Das heißt, jedes andere Objekt, wenn es als ein Medium des Austausches verwendet wird, kann nicht in ihre Kategorie aufgenommen werden. Daher sind nach dieser Fassung die Scharia-Unterlassungsansprüche für das Riba-Verbot nicht auf Papierwährungen anwendbar. Währungen, die zu verschiedenen Ländern gehören, können mit oder ohne Gewinn ausgetauscht werden und sowohl auf einer Spot - als auch auf einer verzögerten Basis. Die Befürworter der früheren Fassung zitieren den Fall des Austausches von Papierwährungen, die demselben Land angehören, zur Verteidigung ihrer Version. Die Konsensaussage der Juristen in diesem Fall ist, dass diese Börse ohne Gewinn oder in gleicher Höhe gleich sein muss und an Ort und Stelle abgerechnet werden muss. Was ist die Begründung, die der obigen Entscheidung zugrunde liegt Wenn man die Hanafi und die erste Version der Hanbali-Position betrachtet, dann ist in diesem Fall nur eine Dimension der effizienten Ursache (illa) vorhanden, dh sie gehören zu der gleichen Gattung (jins ). Aber Papierwährungen sind weder abwägung noch messbar. Daher würde das Hanafi-Gesetz offensichtlich den Austausch von unterschiedlichen Mengen der gleichen Währung vor Ort ermöglichen. Ähnlich, wenn die effiziente Ursache der Währung (Thamaniyya) nur für Gold und Silber spezifisch ist, dann würde das Shafii und Maliki Gesetz auch das gleiche erlauben. Unnötig zu sagen, das bedeutet, dass Riba-basierte Kreditaufnahme und Kreditvergabe erlaubt. Dies zeigt, dass es die erste Version von Shafii und Maliki dachte, die der Konsensentscheidung des Gewinnverbots und der aufgeschobenen Abrechnung im Falle des Austauschs von Währungen, die zu demselben Land gehören, zugrunde liegt. Nach den Befürwortern würde die Erweiterung dieser Logik auf den Austausch von Währungen verschiedener Länder implizieren, dass der Austausch mit dem Gewinn oder in einer von der Einheit abweichenden Rate zulässig ist (da dort keine Einheit der Jins), sondern die Abrechnung muss vor Ort sein. 2.1.2 Der Vergleich zwischen der Devisenbörse und dem Bai-Sarf-Bai-Seas ist in der Fiqh-Literatur als Austausch mit thaman haqiqi definiert, der als Gold und Silber definiert ist und als Haupttausch für fast alle größeren Transaktionen diente. Die Befürworter der Ansicht, dass jeder Wechsel von Währungen verschiedener Länder gleich ist wie Bai-Sarf, argumentieren, dass in der Gegenwart Papierwährungen Gold und Silber als Medium des Austauschs wirksam und vollständig ersetzt haben. Daher sollte der Austausch, der solche Währungen einbezieht, in gleicher Weise von denselben Scharia-Regeln und Unterlassungen wie Bai-Sei geregelt werden. Es wird auch argumentiert, dass, wenn eine aufgeschobene Abwicklung durch beide Parteien des Vertrages erlaubt ist, dies die Möglichkeiten der Riba-al Nasia eröffnen würde. Die Gegner der Kategorisierung der Währungsumrechnung mit Bai-Seas weisen jedoch darauf hin, dass der Austausch aller Formen der Währung (Thaman) nicht als Bai-Sei bezeichnet werden kann. Nach dieser Ansicht bedeutet der Bai-Seas den Austausch von Währungen aus Gold und Silber (thaman haqiqi oder naqdain) allein und nicht von Geld, das von den staatlichen Behörden (Thaman istalahi) als solches ausgesprochen wird. Die gegenwärtigen Währungswährungen sind Beispiele für letztere Art. Diese Gelehrten finden Unterstützung in jenen Schriften, die behaupten, daß, wenn die Waren des Tausches nicht Gold oder Silber sind, (auch wenn einer von ihnen Gold oder Silber ist), dann kann der Austausch nicht als Bai-Sei bezeichnet werden. Auch würden die Bestimmungen über Bai-Sei nicht auf solche Börsen anwendbar sein. Nach Imam Sarakhsi4, wenn eine Einzelperson Fals oder Münzen aus minderwertigen Metallen, wie Kupfer (Thaman istalahi) für Dirhams (thaman haqiqi) kauft und macht eine Spotzahlung der letzteren, aber der Verkäufer hat keine Fals in diesem Moment , So ist ein solcher Austausch zulässig. Besitz von Waren, die von beiden Parteien ausgetauscht werden, ist keine Vorbedingung (während im Fall von Bai-Seas ist es.) Es gibt eine Anzahl ähnlicher Referenzen, die darauf hindeuten, dass die Juristen keinen Austausch von Fals (Thaman Istalahi) für andere Fälle ( Thaman istalahi) oder gold oder silber (thaman haqiqi), als bai-sarf. Daher kann der Austausch von Währungen von zwei verschiedenen Ländern, die sich nur als thaman istalahi qualifizieren können, nicht als bai-sarf kategorisiert werden. Ebenso wenig kann die Einschränkung der Spotabwicklung auf solche Transaktionen verhängt werden. Es ist anzumerken, dass die Definition von Bai-Seas Fiqh-Literatur zur Verfügung gestellt wird und in den heiligen Traditionen nicht erwähnt wird. Die Traditionen erwähnen Riba, und der Verkauf und Kauf von Gold und Silber (naqdain), die eine Hauptquelle für Riba sein kann, wird von den islamischen Juristen als Bai-Seas bezeichnet. Es ist auch anzumerken, dass in der Fiqh-Literatur der Bai-Seas den Austausch von Gold oder Silber nur impliziert, ob diese derzeit als Medium des Austausches verwendet werden oder nicht. Austausch mit Dinaren und Goldschmuck, beide Qualität als Bai-Sei. Verschiedene Juristen haben versucht, diesen Punkt zu klären und haben den Kiefer als jener Austausch definiert, in dem die beiden ausgetauschten Waren in der Natur des Thamans sind, nicht unbedingt selbst thaman. Daher wird auch dann, wenn eine der Waren Gold verarbeitet wird (sagen, Ornamente), dieser Austausch als Bai-Sarf bezeichnet wird. Die Befürworter der Ansicht, dass die Wechselstube in ähnlicher Weise wie der Bai-Sei behandelt werden sollte, leiten auch die Unterstützung von Schriften namhafter islamischer Juristen ab. Nach Imam Ibn Taimiya wird alles, was die Funktionen des Mediums des Tausches, der Rechnungseinheit und des Wertes des Wertes ausführt, Thaman genannt (nicht unbedingt auf Gold-Silber-Silber beschränkt). Ähnliche Referenzen gibt es in den Schriften von Imam Ghazzali5 Soweit die Ansichten von Imam Sarakhshi über den Austausch mit Fals besorgt sind, sind nach ihnen einige zusätzliche Punkte zu beachten. In den frühen Tagen des Islam wurden Dinare und Dirhams aus Gold und Silber meist als Medium des Austausches bei allen größeren Transaktionen verwendet. Nur die Kleinen wurden mit Fals besiedelt. Mit anderen Worten, Fals besaß nicht die Eigenschaften von Geld oder Thamaniyya in vollem Umfang und wurde kaum als Wert - oder Rechnungseinheit verwendet und war mehr in der Natur der Ware. Daher gab es keine Beschränkung für den Kauf derselben für Gold und Silber auf verzögerter Basis. Die heutigen Währungen haben alle Merkmale von Thaman und sollen nur Thaman sein. Der Austausch mit Währungen verschiedener Länder ist der gleiche wie der Bai-Sei mit dem Unterschied der Jins und daher würde die verzögerte Siedlung zu Riba al-Nasia führen. Dr. Mohamed Nejatullah Siddiqui veranschaulicht diese Möglichkeit mit einem Beispiel6. Er schreibt in einem gegebenen Augenblick in der Zeit, in der der Markttausch zwischen Dollar und Rupie 1:20 beträgt, wenn ein Einzelner 50 mit einer Rate von 1:22 kauft (Abwicklung seiner Verpflichtung in Rupien, die auf ein zukünftiges Datum verzichtet wurden) Es ist sehr wahrscheinlich, dass er ist. In der Tat, leihen Rs. 1000 jetzt anstatt eines Versprechens, Rs zurückzuzahlen. 1100 zu einem bestimmten späteren Zeitpunkt. (Da kann er Rs 1000 jetzt erhalten, den Austausch der 50 auf Kredit bei Kassakurs erwirtschaftet). So kann der Seil in zinsbasierte Kreditaufnahmeverkäufe umgewandelt werden. 2.1.3 Definition von Thamaniyya ist der Schlüssel Es scheint aus der oben genannten Synthese von alternativen Ansichten, dass die zentrale Frage scheint eine korrekte Definition von thamaniyya zu sein. Zum Beispiel bezieht sich eine grundlegende Frage, die zu abweichenden Positionen auf die Zulässigkeit führt, ob Thamaniyya für Gold und Silber spezifisch ist oder mit irgendetwas verknüpft werden kann, das die Funktionen des Geldes ausführt. Wir stellen einige Fragen auf, die in einer Übung bei der Überlegung von alternativen Positionen berücksichtigt werden können. Es sollte beachtet werden, dass Thamaniyya nicht absolut sein kann und in Grad variieren kann. Es stimmt, dass die Papierwährungen Gold und Silber als Medium des Umtauschs, Rechnungseinheit und Wertschöpfung vollständig ersetzt haben. In diesem Sinne können Papierwährungen gesagt werden, um thamaniyya zu besitzen. Dies gilt jedoch nur für inländische Währungen und gilt nicht für Fremdwährungen. Mit anderen Worten, indische Rupien besitzen thamaniyya innerhalb der geographischen Grenzen von Indien nur, und haben keine Akzeptanz in den USA. Diese können nicht gesagt werden, thamaniyya in den USA zu besitzen, es sei denn, ein US-Bürger kann indische Rupien als ein Medium des Tausches oder eine Einheit des Kontos oder Wertes speichern. In den meisten Fällen ist eine solche Möglichkeit fern. Diese Möglichkeit ist auch eine Funktion des Wechselkursmechanismus, wie zB die Konvertibilität indischer Rupien in US-Dollar, und ob ein festes oder variables Wechselkurssystem vorhanden ist. Zum Beispiel, unter der Annahme der freien Konvertibilität der indischen Rupien in US-Dollar und umgekehrt, und ein festes Wechselkurs-System, in dem die Rupie-Dollar-Wechselkurs wird nicht erwartet, dass in absehbarer Zukunft zu erhöhen oder zu verringern, ist Thamaniyya der Rupie in den USA erheblich verbessert . Das von Dr. Nejatullah Siddiqui zitierte Beispiel erscheint auch unter den gegebenen Umständen sehr robust. Erlaubnis, Rupien für Dollars auf verzögerter Basis (ab einem Ende, natürlich) mit einer Rate zu tauschen, die sich von dem Kassakurs unterscheidet (offizieller Satz, der voraussichtlich bis zum Zeitpunkt der Abwicklung festgesetzt wird) wäre ein klarer Fall von Zinsbasierten Kreditaufnahme und Kreditvergabe. Wenn jedoch die Annahme eines festen Wechselkurses entspannt ist und das gegenwärtige System der fluktuierenden und volatilen Wechselkurse als der Fall angenommen wird, dann kann gezeigt werden, dass der Fall der Riba-Al-Nasia zerfällt. Wir schreiben sein Beispiel um: In einem gegebenen Augenblick, in dem der Markttausch zwischen Dollars und Rupien 1:20 beträgt, wenn ein Einzelner 50 mit einer Rate von 1:22 kauft (Abwicklung seiner Verpflichtung in Rupien, die auf ein zukünftiges Datum verzichtet wurden ), Dann ist es sehr wahrscheinlich, dass er ist. In der Tat, leihen Rs. 1000 jetzt anstatt eines Versprechens, Rs zurückzuzahlen. 1100 zu einem bestimmten späteren Zeitpunkt. (Da kann er jetzt Rs 1000 erhalten, indem er die 50 auf Kredite am Kassakurs austauscht). Dies wäre nur so, wenn das Währungsrisiko nicht vorhanden ist (Wechselkurs bleibt bei 1:20) oder wird vom Verkäufer getragen Von Dollars (Käufer Rückzahlungen in Rupien und nicht in Dollar). Wenn der ehemalige wahr ist, erhält der Verkäufer der Dollars (Kreditgeber) eine vorgegebene Rendite von zehn Prozent, wenn er Rs1100, der am Fälligkeitstag eingegangen ist, in 55 (bei einem Wechselkurs von 1:20) umwandelt. Ist dies jedoch wahr, so ist die Rückgabe an den Verkäufer (oder der Kreditgeber) nicht vorbestimmt. Es muss nicht einmal positiv sein Zum Beispiel, wenn der Rupie-Dollar-Wechselkurs auf 1:25 ansteigt, dann würde der Verkäufer des Dollars nur 44 (Rs 1100 in Dollar umgewandelt) für seine Investition von 50 erhalten. Hier sind zwei Punkte bemerkenswert. Erstens, wenn man eine feste Wechselkursregelung annimmt, wird die Unterscheidung zwischen Währungen verschiedener Länder verwässert. Die Situation wird ähnlich wie beim Austausch von Pfund mit Sterling (Währungen des gleichen Landes) zu einem festen Zinssatz. Zweitens, wenn man ein flüchtiges Wechselkurs-System annimmt, dann kann man, wie man die Kreditvergabe durch den Devisenmarkt visualisieren kann (Mechanismus, der im obigen Beispiel vorgeschlagen wurde) auch die Kreditvergabe durch einen anderen organisierten Markt visualisieren (z. B. für Rohstoffe oder Aktien .) Wenn man im obigen Beispiel Dollars für Aktien verkauft, so lautet es wie folgt: In einem gegebenen Zeitpunkt, in dem der Marktpreis der Aktie X Rs 20 ist, kauft eine Einzelperson 50 Aktien mit dem Ratsbetrag von Rs 22 (Abrechnung von Seine Verpflichtung in Rupien auf ein zukünftiges Datum verschoben), dann ist es sehr wahrscheinlich, dass er ist. In der Tat, leihen Rs. 1000 jetzt anstatt eines Versprechens, Rs zurückzuzahlen. 1100 zu einem bestimmten späteren Zeitpunkt. (Da kann er jetzt Rs 1000 erhalten und den 50 Aktien, die auf Kredit zum aktuellen Preis erworben wurden, austauschen) Auch in diesem Fall, wie im früheren Beispiel, können Rücksendungen an den Verkäufer von Aktien negativ sein, wenn der Aktienkurs auf Rs 25 bei der Abrechnung steigt Datum. So wie die Renditen am Börsen - oder Rohstoffmarkt aufgrund des Preisrisikos islamisch akzeptabel sind, so sind die Renditen auf dem Devisenmarkt wegen der Schwankungen der Währungspreise. Ein einzigartiges Merkmal von thaman haqiqi oder Gold und Silber ist, dass der intrinsische Wert der Währung gleich seinem Nennwert ist. So ist die Frage nach verschiedenen geographischen Grenzen, in denen eine bestimmte Währung, wie z. B. Dinar oder Dirham zirkuliert, völlig irrelevant. Gold ist Gold, ob im Land A oder Land B. So, wenn die Währung des Landes A aus Gold ausgetauscht wird für die Währung des Landes B, auch aus Gold, dann jede Abweichung des Wechselkurses von der Einheit oder Stundung der Abwicklung von beiden Parteien Kann nicht erlaubt werden, da es eindeutig mit riba al-fadl und auch riba al-nasia einhergeht. Wenn jedoch die Papierwährungen des Landes A gegen die Papierwährung des Landes B ausgetauscht werden, kann der Fall ganz anders sein. Das Preisrisiko (Wechselkursrisiko), wenn positiv, würde jede Möglichkeit der Riba al-nasia im Austausch mit einer verzögerten Abrechnung beseitigen. Wenn jedoch das Preisrisiko (Wechselkursrisiko) null ist, dann könnte ein solcher Austausch eine Quelle von Riba al-nasia sein, wenn eine verzögerte Abrechnung erlaubt ist7. Ein weiterer Punkt, der ernsthafte Erwägungen verdient, ist die Möglichkeit, dass bestimmte Währungen Thamaniyya besitzen können, dh als Medium des Umtauschs, Rechnungseinheit oder Wertschöpfung weltweit sowohl im Inland als auch im Ausland genutzt werden. Zum Beispiel ist US-Dollar gesetzliches Zahlungsmittel innerhalb der USA es ist auch akzeptabel als ein Medium der Börse oder Rechnungseinheit für ein großes Volumen von Transaktionen auf der ganzen Welt. So kann diese spezifische Währung gesagt werden, dass sie thamaniyya weltweit besitzt, in welchem ​​Fall Juristen die entsprechenden Unterlassungsanordnungen auf den Austausch mit dieser spezifischen Währung verhängen können, um Riba al-Nasia zu verhindern. Die Tatsache ist, dass, wenn eine Währung thamaniyya global besitzt, dann wirtschaftliche Einheiten, die diese globale Währung als das Medium des Umtauschs, der Rechnungseinheit oder des Wertpapiers verwenden, nicht von einem Risiko aus der Volatilität der Wechselkurse zwischen den Ländern betroffen sein können. Gleichzeitig sollte anerkannt werden, dass eine große Mehrheit der Währungen nicht die Funktionen des Geldes ausübt, außer in ihren nationalen Grenzen, wo es sich um gesetzliches Zahlungsmittel handelt. Riba und Risiko können nicht im gleichen Vertrag koexistieren. Erstere nennt eine Möglichkeit der Rendite mit null Risiko und kann nicht durch einen Markt mit positivem Preisrisiko verdient werden. Wie oben diskutiert wurde, kann die Möglichkeit von Riba al-Fadl oder Riba al-Nasia im Austausch entstehen, wenn Gold oder Silber als Thaman fungieren oder wenn der Austausch Papierwährungen umfasst, die zu demselben Land gehören oder wenn der Austausch Währungen verschiedener Länder einschließt Nach einem festen Wechselkurs-System. Die letzte Möglichkeit ist vielleicht unIslamic8, da der Preis oder der Wechselkurs der Währungen freiwillig in Übereinstimmung mit den Veränderungen der Nachfrage und der Versorgung schwanken dürfen und auch weil die Preise den inhärenten Wert oder die Kaufkraft der Währungen widerspiegeln sollten. Die Devisenmärkte von heute sind durch volatile Wechselkurse gekennzeichnet. Die Gewinne oder Verluste, die auf einer Transaktion in Währungen verschiedener Länder getätigt werden, sind durch das von den Vertragspartnern getragene Risiko gerechtfertigt. 2.1.4. Möglichkeit der Riba mit Futures und Forwards Bisher haben wir Ansichten über die Zulässigkeit von bai salam in Währungen besprochen, das heißt, wenn die Verpflichtung von nur einer der Parteien der Börse aufgeschoben wird. Was sind die Ansichten der Gelehrten über die Aufschiebung der Verpflichtungen beider Parteien. Typisches Beispiel für solche Verträge sind vorwärts und futures9. Nach einer großen Mehrheit der Gelehrten ist dies aus verschiedenen Gründen nicht zulässig, das wichtigste ist das Element des Risikos und der Ungewissheit (gharar) und die Möglichkeit der Spekulation einer Art, die nicht zulässig ist. Dies wird in Abschnitt 3 diskutiert. Ein weiterer Grund für die Ablehnung solcher Verträge kann jedoch ein Rippenverbot sein. Im vorigen Absatz haben wir diskutiert, dass bai salam in Währungen mit schwankenden Wechselkursen können nicht verwendet werden, um Riba wegen der Anwesenheit von Währungsrisiko zu verdienen. Es ist möglich zu zeigen, dass das Währungsrisiko mit einem weiteren, gleichzeitig getätigten Terminkontrakt abgesichert oder auf Null reduziert werden kann. Und sobald das Risiko beseitigt ist, wäre der Gewinn eindeutig Riba. Wir modifizieren und schreiben das gleiche Beispiel: In einem gegebenen Zeitpunkt, in dem der Markttausch zwischen Dollar und Rupie 1:20 beträgt, kauft eine Einzelperson 50 mit einer Rate von 1:22 (Abwicklung seiner Verpflichtung in Rupien, die auf eine Zukunftsdatum), und der Verkäufer von Dollars hebt auch seine Position ab, indem er einen Terminkontrakt einbringt, um Rs1100 zu verkaufen, um am zukünftigen Datum mit einem Satz von 1:20 zu erhalten, dann ist es höchstwahrscheinlich, dass er ist. In der Tat, leihen Rs. 1000 jetzt anstatt eines Versprechens, Rs zurückzuzahlen. 1100 zu einem bestimmten späteren Zeitpunkt. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 dollars purchased on credit at spot rate) The seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 dollars (at an exchange rate of 1:20) for his investment of 50 dollars irrespective of the market rate of exchange prevailing on the date of maturity. Another simple possible way to earn riba may even involve a spot transaction and a simultaneous forward transaction. For example, the individual in the above example purchases 50 on a spot basis at the rate of 1:20 and simultaneously enters into a forward contract with the same party to sell 50 at the rate of 1:21 after one month. In effect this implies that he is lending Rs1000 now to the seller of dollars for one month and earns an interest of Rs50 (he receives Rs1050 after one month. This is a typical buy-back or repo (repurchase) transaction so common in conventional banking.10 3. The Issue of Freedom from Gharar 3.1 Defining Gharar Gharar, unlike riba, does not have a consensus definition. In broad terms, it connotes risk and uncertainty. It is useful to view gharar as a continuum of risk and uncertainty wherein the extreme point of zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11. Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exchange, such as, price, objects of exchange, time of settlement etc. are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles. Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12 An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13 Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible. 3.2 Gharar amp Speculation with of Futures amp Forwards Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futures and forwards in currencies are examples of such contracts under which two parties become obliged to exchange currencies of two different countries at a known rate at the end of a known time period. For example, individuals A and B commit to exchange US dollars and Indian rupees at the rate of 1: 22 after one month. If the amount involved is 50 and A is the buyer of dollars then, the obligations of A and B are to make a payments of Rs1100 and 50 respectively at the end of one month. The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date. Traditionally, an overwhelming majority of Sharia scholars have disapproved such contracts on several grounds. The prohibition applies to all such contracts where the obligations of both parties are deferred to a future date, including contracts involving exchange of currencies. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased. Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries. In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. On the contrary, parties to the contract reverse the transaction and the contract is settled in price difference only. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling 50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar. 3.3. Risk Management in Volatile Markets Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of 50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his 50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell 50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party - whether to hedge or to speculate, can never be ascertained. It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of 50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of 50 (with his obligation to pay 50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell 50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of 50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation. 4. Summary amp Conclusion Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates. This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future. We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance. In a volatile market, the participants are exposed to currency risk and Islamic rationality requires that such risk should be minimized in the interest of efficiency if not reduced to zero. It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants. At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract - speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive. The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. Notes amp References 1. These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy. The discussion on riba prohibition draws on these views. 2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16 3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9 4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25 5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991. 6. Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991. 7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging 50 with 55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for 55 at spot rate of 1:20) Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too. The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic. 8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices. 9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller. 10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible. 11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty. 12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty. Ibn Abbas reported that when Allahs prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time. It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mothers womb. 13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allahs Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty. The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance. 14. The holy prophet is reported to have said Do not sell what is not with you Ibn Abbas reported that the prophet said: He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it. Ibn Abbas said: I think it applies to all other things as well. 15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase. 16. M Hashim Kamali Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996 Send Your Comments to: Dr Mohammed Obaidullah, Xavier Institute of Management, Bhubaneswar 751 013, IndiaDulu awalnya sebelum tahu hal ini emang sempat bingung juga apakah emang halal atau tidak. Tapi setelah baca daribeberapa sumber seperti forum forex dan blog sperti ini memang cukup membantu jadi membuat saya tau apakah handel di forex itu halal atau tidak. Untuk trading pun juga saya sendiri menggunakan akun free swap dari OctaFx. Katanya yang bikin haram itu karena swap ini juga. Dan saya sendiri juga nggak tau swap ini dihitung dari mana, berdasarkan apa. Mudah-mudah sukses dalam bertrading dan semakin yakin dan paham tentang forex Dengan berbagai kondisi handel yang ditawarkan OctaFX terutama pada akun Mikro-Yang saya gunakan memang terdapat fasilitas kostenloser Swap, hal ini semakin Membu saya lega dan leluasa dalam menjalankan kegiatan Handel Yang saya lakukan. OctaFX benar-benar memberikan pelayanan dan fasilitas yang memberikan kenyamanan dan keleluasaan dalam trading terutama bagi muslim yang harus mengikuti aturan-aturan yang dibenarkan dalam hal fiqih muamalah. Fatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang (AL-SHARF) Pertanyaan yang pasti ditanyakan oleh setiap trader di Indonesia. 1. Apakah Trading Forex Haram 2. Apakah Trading Forex Halal 3. Apakah Trading Forex diperbolehkan dalam Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari kita bahas dengan artikel yang pertama. Forex Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai Volumen permintaan dan penawarannya. Adanya Permintaan Dan Penawaran Inilah Yang Menimbulkan Transaksi Mata Uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. --- gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pe mbeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterima kan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh Pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. Jangan Kamu Membeli ikan Dalam Luft, Karena Sesungguhnya Jual Beli Yang Demikian Itu Mengandung Penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi Dari Ibnu Masud) Jual Beli Barang Yang Tidak Di Tempel Transaksi Diperbolehkan Dengan Syarat Harus Diterangkan Sifatsifatnya Atau Ciri-Cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi etikett yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, Video Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan krankheit devisa. Misalnya eksportir Indonesien akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesien memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul penawaran dan perminataan di bursa valuta asing. Setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000 Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. (AWJ Tupanno, et al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesien Nr .: 28DSN-MUIIII2002 Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Schal) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis. B. Bahwa dalam urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain. C. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah2: 275:. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR. Albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Dan Ibn Majah, Dengan Teks Muslim Dari Ubadah Bin Shamit, Nabi sah Bersabda: (Juallah) Emas Dengan Emas, Perak Dengan Perak, Gandum Dengan Gandum, Syair Dengan Syair, Kurma Dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai .. 4. Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, Dan Ahmad, Dari Umar bin Khattab, Nabi sah Bersabda: (Jual-Beli) emas dengan perak adalah Riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat Muslim Dari Abu Said al-Khudri, Nabi sah bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian Atas sebagian yang lain dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat Muslim Dari Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam. Rasulullah sah melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Einheit Usaha Syariah Bank BNI Nr. UUS2878 2. Pendapat Peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional Pada Hari Kamis, Tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (über den Ladentisch) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi VORWÄRTS, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk vorwärts vereinbarung untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil Hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga vorwärts. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah Einheit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Ketiga Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Jakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIAbeBisnis lah - Sekilas tentang Majelis Ulama Indonesia alias MUI(kependekannya) adalah wadah atau majelis para ulama, zuama dan cendikiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Berdiri pada tanggal 7 rajab 1395 H, yang bertepatan dengan tanggal 26 juli 1975 M di jakarta. MUI ini bisa dibilang sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya) dan memegang peranan penting bagi pemerintah Indonesien, yang selalu berusaha memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesien dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT, memberikan nasihat dan fatwa mengenai Masalah beragama dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat Indonesien. Fatwa MUI tentang Trading Forex atau Fatwa MUI tentang Perdagangan Valas Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 28DSN-MUI. III2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan jual beli mata uang(al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun berlainan jenis. B. Bahwa dalam urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran islam berbeda antar satu bentuk dengan bentuk lainnya. C. Bahwa Agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman Allah QS. Al-Baqarah2: 275: . Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. . 2. Hadits Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak). (HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadits Nabi riwayat Muslim, Tarmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dengan teks Muslim dari Ubadah bin Shamit, Nabi s. a.w bersabda: Jual lah emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma dan garam dengan garam dengan syarat harus sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, jual lah sekehendakmu jika dilakukan dengan tunai. 4. Hadits Nabi riwayat Muslim, Tarmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi s. a.w bersabda: Jual Beli emas dengan perak adalah riba kecuali dilakukan secara tunai. 5. Hadits Nabi riwayat Muslim Dari Abu Said al-Khudri, Nabi sah bersabda: Janganlah kamu menjual emas emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambah sebagian atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah sebagian atas sebagian Yang lain dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan tunai. 6. Hadits Nabi riwayat Muslim dari Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam: Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang(tidak tunai). 7. Hadits Nabi riwayat Tarmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan dengan diantara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma, Ulama sepakat(ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu. 1. Surat dari pimpinan Unit Usaha Syariah Bank BNI no. USS2878 2. Pendapat peserta rapat pleno Dewan Syariah Nasional pada hari kamis, tanggal 14 Muharram 1423 H 24 Maret 2002 Dewan Syariah Nasional menetapkan: Fatwa Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) Pertama: Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagi berikut: 1. Tidak untuk spekulasi(untung-untungan) 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga(simpanan) 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai(at-taqabudh) 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar(kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai Kedua: Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu(over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dala jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagi proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional 2. Transaksi FOWARD yaitu transaksi pembelian dan penjualan yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 Jam sampai satu tahun Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan(muwaadah) dan penyerahan nya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk foward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari(lil hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjual valas yang sama dengan harga foward. Hukumnya haram karena mengandung unsur maisir (spekulasi) 4. Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah Einheit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal tertentu. Hukumnya haram karena mengandung unsur maisir(spekulasi) Ketiga: Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliuran, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di: Jakarata Tanggal: 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesien Oke, itulah bunyi dan lengkapnya Fatwa MUI tentang Handel Forex. semoga dapat diambil pelajaran, bisa dijadikan acuan, semua keraguan menghilang dan happy trading. Terimakasih, salam profit dan salam sukses buat semuanya.

No comments:

Post a Comment